Belajar di pesantren memang menyenangkan, hal itulah yang terkesan dalam kehidupan sehari-hari para santri di Pesantren Raudlotul Falah Pamotan Rembang, yang lebih dikenal dengan Pesantren Jumput. Menyenangkan bukan berarti makanan harus enak-enak, tidurnya di kasur empuk atau semua keinginan tercukupi. Kalau yang dikatakan hidup menyenangkan ala anak-anak orang kaya dan orang-orang glamour memang jauh dari keadaan para santri Jumput. Karena mereka hanya anak para petani, Pesantren Jumput pun merupakan pesantren ndeso, jauh dari keramaian kota dan hiburan. Para santrinya pun sangat sederhana kehidupannya, makan seadanya, tidur beralas tikar agar tidak kedinginan karena lantainya ubin model lama, pakaian mereka merk pasar kaki lima.
Tapi tidak ada raut kesedihan atas kehidupan sederhana mereka, dengan senyum mereka lewati hari-hari dipesantren. Rutinitas mereka hanya belajar, saat pagi tiba kegiatan mereka mulai dengan memasak, jam 07.30 WIB latihan komputer/internet digilir sesuai jadwal, pada hari jum’at sampai minggu sekolah Kejar Paket, pukul 12.00 sholat dhuhur berjam’ah, pukul 13.30 berangkat sekolah madrasah, pukul 15.00 sholat Ashar berjamaah, mereka baru pulang dari madrasah pukul 17.00, pukul 18.00 jama’ah sholat Magrib, malamnya habis magrib mengaji sampai sholat Isya tiba, setelah itu jama’ah sholat Isya dan habis sholat mengaji lagi, setelah mengaji mereka harus belajar pelajaran madrasah dan kejar paket, dan sebagian lainya ada yang belajar komputer sampai jam 10 malam. Karena jadwal komputer/internet paginya tidak cukup jadi ada yang kebagian malam, sampai 10.30 malam mereka baru beranjak tidur, jam 03.00 saat fajar tiba mereka bangun sholat malam, jam 04.00 jama’ah sholat subuh.
Bagi orang yang mengamati mungkin melelahkan runitas mereka, waktu luang pagi hari saat belum dapat giliran belajar komputer, selain hari jum’at, sabtu dan minggu karena ada belajar Paket B dan C. Saat waktu luang mereka gunakan untuk mencuci pakaian, bersih-bersih dan belajar. Rutinitas itu mereka lakukan dengan ikhlas, prinsip mereka “mumpung masih ada waktu untuk belajar maka harus digunakan sebaik-baiknya”.
Jumlah santri mukim PI 55 orang dan santri PA 47 orang. Tempat mukim mereka dipisah, kalau santri PI di belakang ndalem tempatnya tertutup, sedangkan santri PA di depan ndalem tempatnya terbuka. Kehidupan para santri seperti satu keluarga besar, santri PI pasti menghapal nama-nama temannya begitu juga santri PA, dari mana mereka berasal, nama ayah ibunya, hari ulangt tahun, sekolah kelas berapa, kesukaanya apa, bahkan siapa yang tidurnya mendekur dapat mereka hapal.
Yang menyenangkan dari kehidupan para santri adalah sikap kekeluargaan mereka. Teman se-pesantren bagi mareka adalah keluarga besar. Karena keadaan mereka jauh dari rumah maka teman yang saat ini paling dekat. Jika ada yang sakit maka teman sekamar yang mengurusnya, saat kehabisan bekal pinjam teman yang punya, saat ada makanan mereka maka bersama-sama, saat ada masalah mereka saling curhat untuk saling memberi solusi.
Sikap kekeluargaan mereka perlihatkan juga saat memasak, karena dapurnya sempit maka memasak mereka gilir, sebagaian santri harus memasakkan sebagaian temannya dengan digilir secara berputar. Makannya pun berjama’ah, ada yang pakai piring nampan (wadahnya lebar) kemudian diberi nasi, sayur, lauk kemudian para santri makan bersama-sama dengan berkeliling mengitari wadah. Satu anggota masak biasanya 6 orang, ini yang mereka sebut “satu piring bersama” dan "sehidup sepenanggungan"
Para santri hidup secara damai dan rukun walau mereka berasal dari berbagai macam karakter, keluarga dan sosial ekonomi yang berbeda. Memang dalam hidup bersosial kadang ada masalah, tetapi mereka dapat mengatasinya dengan kekeluargaan. Tidak ada ceritanya di pesantren ini diantara para santri yang kontra dengan temannya sampai timbul hiruk-pikuk. Tidak sungkan-sungkan antara teman yang satu dengan lainnya saling memberi nasehat dan saling mengingatkan. Keluarga dalam pandangan mereka harus rukun dan damai.
Di pesantren mereka belajar hidup mandiri dan bermasyarakat. Mandiri, karena mereka harus mengelola kehidupan sehari-hari sendiri. Mereka harus pintar-pintar mengatur waktu jadwal belajar, mencuci baju sendiri, mengelola keuangan kiriman dari rumah dengan hati-hati. Bermasyarakat, karena mereka hidup dengan banyak orang, belajar memahami dan mengerti orang lain, tidak egois dan membantu teman.
Mbah Tamam (panggilan K. Ahmad Tamamuddin) pengasuh pesantren juga sering memberi wejangan setelah sholat berjama’ah selesai ataupun saat mengaji bagaimana cara bergaul sesuai ajaran agama. Mbah Tamam pernah mewanti-wanti para santri bahwa dalam pergaulan orang harus saling mengerti satu sama lainnya, saling tolong menolong, bahkan kadang harus mengalah jika hal itu lebih baik, karena mengalah demi kerukunan bukan berarti kalah tetapi harus memikirkan kemaslahatan yang lebih besar. Santri tidak boleh punya sikap iri dengan kepemilikan temannya, karena iri akan menjadi sikap tidak mnyukai temannya, bisa jadi hasut bahkan dendam jika muncul masalah, iri merupakan benih perpacahan.
Jika dilihat cara hidup anak-anak muda zaman sekarang para santri Pesantren Jumput memang “tidak gaul”, tidak ada yang menyemir rambut warna-warni, tidak ada yang bertato, tidak ada yang nongkrong dijalanan, tidak ada yang ke diskotik atau mondar-mandir ke mall, tidak hapal lagu-lagu terpopuler serta nama-nama artis dalam negeri dan luar negeri. Mereka hidup penuh peraturan, dikurung oleh pagar tidak bisa bebas keluar masuk, tidak pakai HP, tidak boleh merokok, model pakaiannya hanya jilbab, kerudung, rok, kemeja, sarung, kalau punya celana jeans pun merk pasar kaki lima.
Tapi, sungguh hidup ini mereka jalani dengan sangat menyenangkan, hidup dengan penuh kekeluargaan, rukun, damai, santun dan selalu menjalankan perintah agama. Suasana seperti ini tidak kita temukan diluar pesantren. Di sekolah formal keakraban mungkin hanya kita dapat dengan beberapa teman, tidak ada nasehat keagamaan yang mengikat. Di pesantren jelas bagi yang melanggar ajaran agama akan diberi sanksi, dari peringatan, ta’zir, pemanggilan orang tua, jika berat bisa dikeluarkan. Pesantren memang harapan negara ini, saat akhlak para remaja mulai pudar karena arus modernisasi dan globalisasi, maka pesantren dengan susah payah berusaha membangun akhlak para generasi.
14 Oktober 2008
Langganan:
Postingan (Atom)